Mayoritas orang Islam di Indonesia menganggap haji adalah sesuatu yang elit. Memang tidak semua orang Islam menganggapnya begitu, apalagi ketika zaman globalisasi seperti saat ini. Namun menjadi seseorang yang sudah menunaikan rukun Islam ini, secara tidak langsung (atau bahkan secara langsung) menaikan derajat sosial orang itu. Ada prestise tersendiri ketika sesorang memakai gelar haji di depan namanya.
Dr. Martin van Bruisen, seorang peneliti Islam di Indonesia, punya catatan yang menarik mengenai haji. Menjelang pertengahan abad ke-17, para penguasa kerajaan Islam di Jawa mulai mencari legitimasi politik atas kekuasaannya dari para Syarif Mekah. Pada tahun 1630-an, Kerajaan Banten dan Kerajaan Mataram saling bersaing mengirim utusan ke Mekah untuk meminta pengakuan dan gelar sultan. Rombongan utusan Banten pulang pada tahun 1638. Sedangkan utusan dari Mataram baru pulang tahun 1641 dengan membawa banyak kenang-kenangan dari Syarif Besar Mekah. Pada tahun 1674, untuk pertama kalinya seorang pangeran dari Kerajaan Islam di Jawa menunaikan ibadah haji. Ia adalah Abdul Qohar dari Kerajaan Banten, yang lebih masyhur disebut Sultan Haji.
Saat Indonesia dikuasai Belanda dengan VOC-nya, tidak ada perubahan dengan haji. Haji tetap menjadi kelas sosial tersendiri di mata masyarakat. Kebanyakan orang yang berhaji berasal dari kalangan-kalangan lapisan atas masyarakat, seperti para ulama, keluarga muslim yang kaya, dan para sultan. Masalahnya, haji orang Indonesia rupanya tidak hanya sekedar thawaf, wukuf, atau jumrah saja. Naik haji merupakan kesempatan untuk memperdalam ilmu sekaligus membangun kesadaran menentang penjajahan. Alhasil, banyak sekali haji-haji yang menjadi inspirator perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Inilah yang kemudian membuat pemerintah kolonial agak sedikit was-was.
Berbagai regulasi untuk menekan orang yang berhaji mulai diterapkan, seperti Resolusi 1825 dan 1831. Pada Resolusi 1825, setiap calon jamaah haji harus membayar f 110 (110 gulden) untuk mendapatkan paspor haji. Resolusi 1825 ini kemudian diubah dengan Resolusi 1831. Dalam aturan ini, para pelanggar yang tidak memiliki paspor haji akan didenda f 1000. Jumlah denda di kemudian hari berubah menjadi f 220. Tahun 1852 kedua resolusi tersebut dicabut, tetapi aturan untuk memiliki paspor tetap diwajibkan meski pembayarannya tidak terlalu mahal.
Barulah saat ide Pan-Islam menjadi kekuatan baru penentang kolonialisme, Belanda kembali menetapkan aturan-aturan mengenai haji yang lebih ketat. Haji menjadi momok bagi pemerintah kolonial waktu itu. banyak sekali perlawanan-perlawanan terhadap pemerintah dipimpin oleh para haji. Maka, pemerintah segera memberlakukan Ordonansi Haji yang berisi; harus memiliki surat keterangan dari bupati serta bekal yang cukup selama pergi berhaji dan bagi keluarga yang ditinggalkan; diadakan ujian bagi yang telah datang dari haji; bila telah lulus ujian baru jamaah haji bisa memakai gelar haji dan memakai busana khusus haji.
Sepintas aturan ini terlihat sangat konyol. Namun perlawanan terhadap penjajahan semakin meningkat. Ini memaksa Belanda lebih bersikap paranoid terhadap haji. Sampai-sampai konsul Belanda di Jeddah pun diinstuksikan untuk menghambat pelaksanaan haji.
Ordonansi Haji, terutama aturan mengenai sertifikat haji dan busana haji, ternyata merupakan hasil dari penelitian mendalam dari seorang orientalis masyhur bernama Snouck Hurgronje. Para peminat sejarah di Indonesia pasti akan bertemu nama ini. tidak bisa tidak, sejarah perkembangan Islam di Indonesia berhubungan erat dengan Snouck Hurgronje karena beberapa kebijakan-kebijakan politik Islam pemerintah Hindia Belanda berasal dari pemikirannya.
Snouck melihat ide-ide pan-islamisme yang dibawa para jamaah haji seringkali bertentangan dengan kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Snouck paham betul vitalnya peran ibadah haji di Mekah dengan penyebaran ide pan-islam ini. Snouck sendiri pernah melakukan sesuatu yang sampai sekarang masih bisa membuat kita menggelengkan kepala. Dengan nekat, demi mengkaji Islam lebih mendalam untuk kepentingan orientalis, Snouck menyusup ke Mekah yang terlarang bagi non-muslim seperti dirinya. Bahkan dia bersyahadat dan menyatakan dirinya sebagai seorang muslim dengan nama Abdul Ghafar. Dalam salah satu suratnya bertanggal 1-8-1885 kepada Th. Noldeke, gurunya, ia menyatakan tujuannya pergi ke Mekah adalah mengamati cara berpikir, cara bertindak, dan perilaku kaum ulama dan bukan ulama untuk menelaah Islam di pusat kehidupan orang Islam.
Dalam bukunya yang terbit kemudian tentang Mekah, tampak dengan jelas bagaimana pandangan Snouck tentang orang Jawa (baca: Indonesia) yang ia temui di Mekah. Ia menganggap bahwa orang Jawa adalah kelompok manusia yang paling tereksploitasi di Mekah. Di samping itu ia juga memiliki pandangan yang sangat sinis tentang sejumlah ulama Indonesia yang ia temui di sana, contohnya ulama karismatis Syekh Nawawi Banten. Ia mengejek, meskipun Syekh Nawawi berpuluh tahun hidup di Mekah, bahasa Arab dan cara melafalkan ayat Al-Quran masih memiliki aksen Jawa yang medok.
Snouck tertarik memperhatikan gerak-gerik jemaah haji asal Aceh. Ia menganggap, dibandingkan dengan jemaah haji Nusantara lainnya, jemaah haji Aceh lebih memiliki sikap radikal dan fanatik. Di Mekah, seperti disaksikan Snouck Hurgronje, mereka mencari dukungan dari ulama-ulama di sana tentang bagaimana hukumnya berjihad melawan Belanda. Hurgronje mengikuti pengajian para ulama Aceh di Mekah, “mendaras bersama”, memohon kemenangan Perang Aceh. Para jemaah melantunkan teks-teks hadis Bukhari; inilah teks yang dianjurkan oleh pemerintah dan ulama Turki kepada warganya saat Rusia akan menyerang Kerajaan Ottoman. Di mata Snouck, Mekah adalah pemompa darah segar Islam di Hindia Belanda. Dia juga tercengang melihat orang Arab sering memperbincangkan Perang Aceh. “Solidaritas Islam begitu kuat,” pikirnya. Muncul keinginannya menyumbangkan usulan ilmiah kepada pemerintah guna menundukkan Islam dan Aceh.
Snouck memang memiliki tugas utama “membersihkan Aceh”. Karena itu pulalah ia menjadi semacam legenda di kalangan orientalis. Bagi pemerintah Belanda dia merupakan pahlawan yang membuat mereka menundukan Aceh. Sebelum kedatangan Snouck ke Aceh, Belanda sama sekali tidak berkutik dalam menghadapi Perang Aceh. Mereka bertanya-tanya betul atau salahkah strategi mereka selama ini. Maka, saat Snouck memberikan naskah berisi saran-saran mengenai kebijakan terhadap Aceh kepada kantor Menteri Daerah Jajahan Belanda (Ministerie van Kolonieën), pemerintah Belanda segera bergerak cepat menugaskan Snouck untuk mendalami masalah ini lebih lanjut.
Dengan berpijak pada konsep-konsep hasil penelitian Snouck di Aceh, Belanda berhasil menundukan Aceh, meski tidak total karena masih banyak perlawanan-perlawanan separatis pasca menyerahnya Kerajaan Aceh Darussalam tahun 1903. Dan tidak hanya Aceh. Pemikiran-pemikiran Snouck juga dijadikan pijakan kebijakan politik Islam Hindia Belanda di daerah lainnya. Snouck menjabat sebagai Penasihat Urusan Pribumi dan Arab dari tahun 1892 sampai tahun 1906.
Penelitian yang dilakukan di Mekkah dan di Aceh memberi kemungkinan kepada Snouck Hurgronje untuk membuat kategorisasi pola perbuatan keagamaan umat Islam Nusantara dalam rangka menggariskan politik Islam pemerintah kolonial. Ia membagi persoalan Islam kepada tiga kategori yaitu bidang agama murni, bidang sosial kemasyarakatan (muamalah), dan bidang politik. Ketiga bidang ini memiliki alternatif pemecahan yang berbeda. Terhadap yang pertama, pemerintah harus memberikan kebebasan penuh kepada penganutnya, bahkan jika perlu harus dibantu. Terhadap yang kedua, pemerintah harus menghormati institusi-institusi yang sudah ada, dan tidak boleh dihalangi kelangsungannya. Namun terhadap yang ketiga, pemerintah harus menghalanginya dan kalau perlu harus disikat habis.
Kebijakan politik Islam Snouck Hurgronje, tampaknya didasarkan pada asumsinya tentang kondisi real umat Islam di Hindia Belanda waktu itu. Ia melihat umat Islam lebih memperhatikan persoalan Islam sebagai agama dalam bentuknya yang sempit (seperti perkawinan, hubungan keluarga, dan peraturan yang berhubungan dengan waris), sedangkan aspek politik dan sosial kurang mendapat perhatian.
Snouck Hurgronje yakin bahwa umat Islam akan berbahaya bagi pemerintah kolonial jika kebebasan dan kemerdekaan mereka beragama diganggu. Semakin dilarang untuk mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan ubudiyah, mereka semakin fanatik untuk mengerjakannya. Bahaya lebih besar akan mengancam pemerintah, bila lantaran terganggu kemerdekaan mengerjakan agama umat Islam terus mengasingkan diri dari masyarakat biasa, lalu mendirikan perkumpulan-perkumpulan tarekat yang mengajarkan perang sabil yang mungkin tidak dapat diketahui secara cepat.
Semangat keislaman juga bisa bangkit, jika umat Islam merasa terganggu dalam urusan muamalat, seperti urusan perkawinan, warisan, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan itu. Oleh karenanya, pemerintah harus memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku, dengan cara menggalakkan rakyat agar mendekati Belanda. Jika urusan ubudiyah dan muamalat sudah diatur, maka yang perlu diawasi adalah hubungan umat Islam dengan dunia luar.
Paparan diatas mengggambarkan bahwa Snouck Hurgronje membuat kategorisasi yang tajam terhadap pola perbuatan keagamaan umat Islam di Hindia Belanda. Ia menganggap ketiga aspek tersebut terpisah antara satu dengan lainnya, bukan sebagai satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Dari gambaran tersebut jelas, bahwa esensi sesungguhnya dari pemikiran politik Snouck Hurgronje adalah depolitisasi Islam.
Ide pan-islam adalah salah satu contoh dari sudut pandang Snouck mengenai Islam secara politik. “Masukan penting yang disampaikan Snouck kepada pemerintah Belanda: pemerintah harus mengawasi para jemaah haji yang baru pulang dari Mekah. Sering mereka ini membawa ide Pan-Islamisme yang bertentangan dengan kepentingan Belanda,” kata pakar Islam Jajang Jahroni. Maka diberlakukanlah Ordonansi Haji yang salah satunya berisi peraturan konyol tentang ujian haji sebagai syarat berbusana haji.
Snouck juga berusaha membatasi asimilasi antara orang Arab dan “pribumi”. Itu disebabkan salah satu pemimpin perang Aceh yang pertama adalah orang Arab: Habib Abdurrachman Al-Zahir. “Beliau adalah ulama dari Yaman yang datang ke Aceh, diangkat Kesultanan Aceh menjadi duta dan dikirim ke Turki untuk meminta pertolongan guna menghadapi Belanda, tapi kemudian dia menyerah ke Belanda,” kata Azyumardi Azra, rektor Universitas Islam Negeri Jakarta. Meski misinya ke Istanbul tidak berhasil, ia tetap balik ke Aceh dengan menyamar sebagai orang keling, mencukur rambut dan jenggotnya.
Menurut almarhum Hamid Algadri dalam bukunya Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab Belanda, Snouck mengupayakan agar orang Arab dan orang Indonesia bermusuhan. Di antaranya adalah dengan menjadikan orang Arab-di samping orang Cina-sebagai vreeemde osterlingen (orang asing Timur Jauh) yang menempati strata kedua dalam strata sosial masyarakat.
Imigrasi para imigran keturunan Arab ke Indonesia juga dipersulit, dari keberangkatan, di perjalanan, turun kapal, sampai keinginan menetap. Di mata Snouck, cara-cara tersebut bisa menghambat laju Pan-Islam. Beberapa media sempat memprotes kebijakan ini, seperti koran Maklumat (30/8/1889) dan Moe’ajjad (5/4/1899) dari Turki, dan majalah Tha-maratal-fumun Singapura (21 Rajab 1315).
Pemikiran lain Snouck yang sampai saat ini masih berpengaruh adalah “teori receptie”. Sudah menjadi kenyataan, hukum Islam merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat. Bahkan, para pejuang Islam di Indonesia, sejak dulu sudah bercita-cita dan sudah menerapkan hukum Islam. Dalam disertasi doktornya di Universitas Indonesia, Dr. Rifyal Ka’bah mencatat, bahwa sebelum kedatangan penjajah Belanda, Islam telah memperkenalkan tradisi hokum baru di Indonesia. Ia menawarkan dasar-dasar tingkah laku sosial baru yang lebih sama rata dibanding dengan yang berlaku sebelumnya. Islam juga menyumbangkan konsepsi baru di bidang hukum untuk Indonesia. Islam telah mengubah ikatan yang bersifat kesukuan dan kedaerahan menjadi ikatan yang bersifat universal. Mengutip Daniel S. Lev, Rifyal mencatat bahwa Islam telah membentuk sebuah konsepsi sosial-politik supralokal sebelum Belanda dapat menyatukan Nusantara dalam sebuah administrasipemerintahan.
Sebuah buku yang ditulis F.V.A. Ridder de Stuers, Gedenkschrift van den Orloog op Java (1847), mengisahkan memoar seorang Letnan Kolonel Belanda yangmenulis, bahwa Perang Diponegoro (1825-1830) sebenarnya adalah perjuangan menegakkan hukum Islam bagi orang Jawa. Kepada William Stavers, ketua delegasi Belanda yang datang ke pedalaman Salatiga, pembantu dekat Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, menyampaikan pesan, Pangeran Diponegoro mencitakan hukum Islam seluruhnya berlaku untuk orang Jawa. Persengketaan orang Jawa dengan orang Eropa diputus menurut hukum Islam. Sedangkan persengketaan antar orang Eropa diselesaikan dengan hukum Eropa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar